BANTEN – Empat puluh tahun lalu saya sempat bertemu seorang guru besar yang sangat ugahari. Dalam benak saya, dia persis seperti tokoh yang digambarkan oleh penulis Novel Iwan Simatupang. Sehingga saya tak cuma kagum dengan cara berpikir dan keluasan khazanah ilmu dan pengetahuan yang dia miliki.
Pendek kata, saya menjadi pengagum beratnya. Tapi dia, selalu mengingatkan agar saya tidak menjadi pemuja fanatiknya. Sebab saya harus tetap kritis, katanya memberi nasehat.
Karena itu, kami jadi semacam bersasabat. Tak ada jarak yang dibuatnya untuk membatasi diri saya dengan dirinya sebagai guru dan murid. Meski begitu, saya semaki mendalami tata kerama serta ungguh-ungguh, sehingga terjauh dari sikap urakan.
Hari ini, setelah 40 tahun berlalu, saya semakin percaya bahwa kebebasan dan keterbukaan serta keikhlasan dapat membuat satu sikap yang lebih santun dan ugahari pula. Setidaknya, dengan perilaku yang luhur dari guru besar saya itu, sungguh telah menanamkan suatu pelajaran hidup yang sederhana, baik dalam pembicaraan maupun yang berwujud perbuatan nyata dalam kehidupan sehari.
Selera tampilan dan pilihannya berpakaian pun, sangguh sangat sederhana dan lebih didasari oleh hasrat yang praktis. Persis seperti Gus Dur — sebelum menjadi Presiden Indonesia — selalu menggunakan sepatu-sandal yang enak dan gampang untuk dilepas, misalnya ketika hendak masuk ke masjid. Dan kalau pun harus hilang sepatu-sandalnya itu di masjid, tak menjadi masalah, sebab harganya juga relatif murah.
Itulah satu diantara pengalaman yang mengajarkan, mengapa harus bersikap konsumtif untuk memakai pakaian yang mahal, meski terkadang harus dipaksakan juga, meski pakaian yang mahal — dan tentu saja yang bermerk itu — meski tak enak dipakai. Lantaran yang dikejar biadanya cuma sekedar gengsi belaka.
Sikap ugahari guru saya itu pun terwujud dalam tata krama diskusi kami, baik dalam forum yang terbatas maupun forum yang lebih luas dan terbuka. Ketika diantara sedang bicara, dia serius menyimak, sehingga mampu mengurai jawaban atau sekedar tanggapannya, termasuk memberi komentar pada cara berbipikir yang terlalu ruet. Sebab untuk mengurai masalah yang ruet cara berpikir tidak boleh ruet, katanya menyarankan.
Perndek kata, sebagai guru besat bagi kami, sosoknys tak pernah terkesan untuk menggurui. Apalagi menggagahi. Padahal, sebagai seorang guru besar dari sebuah perguruan tingga yang paling wah bergengsi di negeri ini, dia pun kerap memberi kuliah umum do berbagai perguruan tinggi, termasuk menjadi dosen tamu untuk sejumlah universitas di luar negeri.
Aku kira, akibat langsung dari tampilannya yang amat sangat sederhana itu, dia acap kami sebut filusuf, persis seperti pengembara dalam novelnya Iwan Simatupang.
Pada suatu ketika, kami sampai pada satu topik kesederhanaan dan kerendahatian seperti yang menjadi tampilan dirinya yang khas itu. Kemeja kesukaannya pun kami bahas, karena nyaris selalu mengenakan lengan panjang putih. Sudah begitu pun, lengan bajunya sering digulung sekenanya saja.
Lalu celanya yang berwarna gelap. Tas jinjingnya yang selalu penuh sesak dengan buku-buku yang sangat dia hafal di luar kepala.
Ikhwal bukunya di ruang kerjanya, kebih dakhsyat dari toko buku Sumur Bangung yang paling lengkap pada jaman itu.
Rumah tinggalnya sangat sederhana. Apalagi dia memilih tinggal di kampung, seakan-akan hendak menyelaraskan dengan rumah hunian lain yang kebanyakan milik rakyat jelata. Maklumlah, dia tak hendak ngotot mendapat perumagan dosen yang disediakan oleh pihak
Universitas. Tapi ruang perpustakaan pribadinya waw, belum pernah saya saksikan di rumah satu orang Profesor yang pernah saya kunjungi pada masa itu. Hingga saya membayangkan, perpustakaan pribadinya ketika itu mungkin sepadan dengan milik Wakil Presiden Muhammad Hatta yang sebagian tampaknya telah dijadijan Yayasan Perpustakaan di Yogyakarta.
Yang menarik, Guru Besar yang kami tasbihkan sendiri dalam kelompok studi bersama di luar lingkungan perguruan tinggi itu, justru lebih bersahaja lagi misalnya ketika disanding dengan Prof. Lafran Pane yang selalu naik sepeda ke kampus dari tempat tinggalnya di Kampus IKIP Negeri Karang Malang, Yogyakarta. Guru besar kami justru gemar menumpang angkot yang cukup dominan digunakan oleh kalangan mahasiswa ketika itu. Pendek kata, tak sedikit mahasiswa maupun mahasiswi yang mengenal sosoknya, jadi salah tingkah ketika kepergok bersamanya di atas angkot yang sama.
Bahkan tak jarang, mereka yang hendak membatar ongkos untuknya ditolak dengan halus dan kelakarnya yang segar. Sebaliknya, ketika guru besar ini hendak turun, dia membayar semua ongkos penumpang yang turun bersamanya di halte kampus yang sama. Sebab dia sangat yakin mahasiswa dan mahasiswi yang turun bersamaan dengan dirinya itu adalah dari kampus yang sama di tempatnya mengajar.
Kini guru besar itu aku yakin semakin hidup nyaman dan damai di surga. Karena kebaikan perbuatannya yang banyak dan pepak dengan ilmu pengetahuan serta pengalaman dan warna hidup yang indah, telah mewarnai semua anggota kelompok studi dan penelitian kami dari usuhan dan dibimbing yang ugagari dan tanpa pamrih itu.
Agaknya, inilah pengalaman spiritual yang indah bersandar pada intelektual yang bebas dan terbuka, jujur dan ikhlas untuk memberi dan menerima apa adanya. Tak sombong, tidak jumawa dengan puncak-puncak keilmuan yang telah dicapai. Sebab masih ada puncak atau bahkan kedalaman dari gunung yang lain, sangat mungkin dan banyak yang belum diarungi berikut panorama uniknya yang indah. Maka abadilah sosok dan namanya diantara celah benak kami sebagai anak didik ideologisnya yang sejati.
Dia pintar, tapi tetap rendah hati. Dia terkenal, namun tetap tidak pongah. Dia tidak terlalu kaya, tapi selalu ingin berbagi — tak hanya ilmu, pengetahuan dan pengalaman — tapi juga materi yang mungkin tidak seberapa nilainya. Dan agaknya, bakti kami yang paling bermakna adalah selalu mengenang sosoknya sambil terus mengirim do’a bzgi ruhnya di surga. Sebab hanya dengan begitu, warisan ilmu, pengerahuan serta pengalaman yang kami warisi dapat lebih berlipat manfaat dan gunanya bagi generasi berikut yang sempat dan bernasib bagus untuk mencercap warisannya juga.
Penulis : Jacob Ereste