BANTEN – Meski saya tidak sepenuhnya sepakat dengan istilah ordo spiritual, tapi tak apa sekedar memperkaya khazanah bahasa untuk menggedor kesadaran kolektif guna membuat arus gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual yang sangat jitu untuk menjawab carut-marut bangsa dan negara kita yang semakin tak menentu arahnya.
Apalagi acara dialog dan tatap muka serius itu direncakan dengan tokoh mahasiswa, kalangan pers, tokoh aktivis masyarakat dan kalangan akademisi untuk memperoleh beragam masukan guna menjawab pertanyaan yang mungkin muncul dalam safari GMRI bersama Posko Negarawan untuk mengajak dan juga membumikan gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual agar dapat menjadi basis cara milih, memutuskan untuk kemudian bertindak guna menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang banyak, bukan hanya untuk diri sendiri atau kelompoknya semata.
Karena itu pengertian spiritualis, apa gunanya bagi hidup manusia, bangsa dan negara. Lalu bagaimana cara memasuki dimensi spiritual itu. Seperti apa saja praktiknya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa kini banyak orang yang mengabaikan potensi spiritualitas yang ada di dalam dirinya pada hari ini?
Dan yang paling menarik tentu saja harapan terhadap tokoh negarawan yang memiliki dimensi spiritual yang tangguh untuk menjaga, ikut mengelola dan memberi arahan terhadap arah serta tujuan bernegara dengan tetap berpijak pada tekad proklamasi bangsa yang luhur dengan berpegang teguh pada UUD 1945 (yang asli) dan sila-sila dari Pancasila yang menjadi takaran dan ukuran dalam segenap tindakan maupun perbuatan yang beretika, bermoral serta berakhlak mulia sebagai makhluk Tuhan di muka bumi.
Dalam kajian sejarah, para Nabi merupakan contoh dari kepemimpinan spiritual seperti yang acap dikatakan Sri Eko Sriyanto Galgendu sebagai pelaku dan Wali Spiritual Indonesia terkemuka hari ini. Perspektif sejarah dari kepemimpinan spiritual itu juga menandai kebangkitan peradaban manusia dalam siklus setiap tujuh abad. Pada siklus keempat perubahan besar setiap tujuh abad itu, kini saatnya terjadi kembali.
Gelar Al Amin yang diperoleh Nabi Muhamad SAW misalnya ketika itu, disaat krisis kepercayaan tidak bisa diperoleh atau diberikan kepada siapapun seperti yang terjadi pada hari ini.
Karena gelar atau julukan Al Amin yang diberikan masyarakat ketika itu lantaran Nabi Muhamad SAW memenuhi persyaratan dari sifat-sifat yang utama dan mulia, yaitu Siddiq (integrity), amanah (trust), Fathonah (smart) dan tabloid (ovenly) seperti yang diungkap Alimuddin dari IAIN Palopo lewat risalahnya tentang ‘Kepemimpinan Spiritual”.
Kepemimpinan spiritual sangat diyakini sebagai solusi terhadap krisis kepemimpinan saat ini. Sebab kepemimpinan spiritual, katanya merupakan puncak evolusi model atau pendekatan kepemimpinan”. Karena paradigma manusia sebagai makhluk rasional, emosional dan spiritual atau makhluk yang struktur kepribadiannya terdiri dari jasad, nafsu, akal, kalbu dan ruh.
Oleh karena itu, “kepemimpinan spiritual adalah pemimpin yang sejati dan pemimpin yang sesungguhnya”. Karena seorang pemimpin yang memiliki dimensi spiritual mumpuni akan senantiasa memimpin dengan etika religius yang mampu membentuk karakter, integritas, ketauladanan. Tidak mungkin berjanji palsu atau berbohong pada rakyat atau ummatnya.
Sosok seorang pemimpin spiritual sejati tidak mengandalkan pangkat,kedudukan, jabatan, atau pengaruh keturunannya serta kekuasaan maupun kekayaan. Sebab kepemimpinan spiritualitas mampu menjernihkan rasionalitas dengan hati nuraninya.
Dalam rumusan yang lebih sederhana dan gampang dipahami, semangat GMRI dan Posko Negarawan seperti ghiroh Forum Studi Perdamaian dan Etika Pembangunan besutannya Prof. Dr (HC) K.H. Habib Chirzin (Agama, Pembangunan dan Peradaban hal 34 Tahun 2022) yang sangat memotivasi hasrat belajar dari apa saja dan dari siapa saja, belajar dari tanda-tanda zaman maupun Wahyu, dan belajar dari masyarakat maupun dari buku serta pengalaman orang lain.
Agaknya, demikianlah sosok yang diidolakan dan didambakan oleh GMRI dan Posko Negarawan melakukan safari keliling Nusantara (bukan dalam rangka kampanye Pemilu) tetapi demi untuk menemukan, melahirkan atau mendorong munculnya sosok pemimpin yang mampu mendayagunakan kecerdasan spiritualitasnya dalam membangun bangsa dan negara untuk peradaban baru manusia di bumi.
Penulis : Jacob Ereste